KEWENANGAN PENGADILAN DALAM MELAKUKAN PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI

Latar Belakang

Kewenangan pengadilan dalam melakukan penyelesaian sengketa melalui mediasi dengan maksud agar penyelesaian dapat dilakukan secara damai yang tepat, efektif dan berkeadilan sebenarnya sudah diatur di dalam beberapa Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai berikut:

1. Perma No. 1 Tahun 2003

Ditetapkan oleh Mahkamah Agung RI di Jakarta pada tanggal 11 September 2003 untuk menyempurnakan SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang lembaga damai, dengan adanya Perma ini maka SEMA No. 1 Tahun 2002 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Perma No. 1 Tahun 2008

Ditetapkan oleh Mahkamah Agung RI di Jakarta pada tanggal 31 Juli 2008 untuk merevisi Perma No. 1 Tahun 2003, dengan ditetapkannya Perma ini maka Perma No. 1 Tahun 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

3. Perma No. 1 Tahun 2016 (berlaku hingga saat ini)

Ditetapkan oleh Mahkamah Agung RI di Jakarta pada tanggal 03 Februari 2016 untuk merevisi Perma No. 1 Tahun 2008, dengan ditetapkannya Perma ini maka Perma No. 1 Tahun 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Perma di atas merupakan amanat pelaksanaan dari ketentuan hukum acara perdata yaitu HIR, sebagaimana diatur dalam Pasal 130 HIR, yang berbunyi:

“Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, dan jika perdamaian tersebut tercapai maka perdamaian tersebut dituangkan dalam sebuah akta dan kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perdamaian tersebut”

Namun di sini penulis ingin membahas apakah mediasi yang dilaksanakan di pengadilan adalah sama semangatnya dan mengacu kepada undang-undang dalam hal ini adalah Pasal 1 angka 10 dan Pasal 6 ayat 4 UU No. 30 Tahun 1999, yang berbunyi:

“Salah satu lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang mengesampingkan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri berdasarkan kesepakatan para pihak yang dapat menunjuk pihak ketiga sebagai mediator untuk membantu memperoleh kesepakatan yang memuaskan.”

Issue:

Apakah Mediasi dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 sama dengan Mediasi yang dipraktekkan di Pengadilan?

Pembahasan
Biaya dan Kewajiban Mediasi di Pengadilan

Mediasi di Pengadilan ini juga dikenakan biaya kepada para pihak yang bersengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 yaitu biaya pemanggilan Para Pihak, biaya perjalanan salah satu pihak berdasarkan pengeluaran nyata, biaya pertemuan, biaya ahli, dan/atau biaya lain yang diperlukan dalam proses Mediasi (“Biaya Mediasi”).

Mediasi menjadi wajib di Pengadilan sejak tahun 2003 sampai dengan saat ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2016, yang berbunyi:

Pasal 3 ayat (1)

“Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi”

Pasal 5 ayat (3)

“Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan”

Pasal 6 ayat (1)

“Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.”

Dalam Perma No. 1 Tahun 2016 ini bahkan para pihak wajib hadir langsung dengan atau tanpa didampingi kuasa hukum, sehingga pihak yang bersengketa tidak boleh mewakilkannya kepada kuasa hukum. Ketidakhadiran para pihak hanya dapat dilakukan dengan alasan yang sah:kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; di bawah pengampuan; mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

Para pihak yang tidak hadir tanpa alasan yang sah dianggap tidak beritikad baik dan mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima dan dikenakan Biaya Mediasi.

Apakah mediasi di pengadilan adalah sama dengan mediasi yang dimaksud dengan undang-undang nomor 30 tahun 1999?

Mediasi di pengadilan adalah tidak sama dengan mediasi yang dimaksud dengan undang-undang nomor 30 tahun 1999, karena mediasi di pengadilan tidak bersifat sukarela sebagaimana ketentuan undang-undang. Mediasi di dalam pengadilan tidak sejalan dengan prinsip mediasi yang bersifat sukarela
Ketidakhadiran pihak penggugat dalam mediasi bisa dianggap tidak beritikad baik oleh mediator apabila tidak hadir 2 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, menghadiri pertemuan tapi tidak menanggapi resume perkara pihak lain, dan/atau tidak menandatangani kesepakatan damai. Hal ini bisa menyebabkan gugatan Penggugat tidak dapat diterima dan dikenakan biaya mediasi (vide : Pasal 7 ayat (2) dan Perma No. 1 Tahun 2016).

Dengan demikian, di sini sifat mediasi berubah yang semula adalah sukarela sesuai prinsip mediasi menjadi suatu kewajiban. Karena tidak semua pihak yang berperkara mau menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, sehingga pelaksanaannya pun menjadi memaksa.

Proses mediasi dikenakan biaya oleh pengadilan (Pasal 1 angka 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 22 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2016) sehingga asas murah dan cepat tidak tercapai, bagaimana bisa? Karena ada kewajiban pembayaran bagi pihak yang berperkara untuk mengeluarkan biaya mediasi sebagaimana dijelaskan di atas.

PELAKSANAAN PERMA 01/2016 TIDAK MENGACU PADA UU NO 30 TAHUN 1999

Perma No. 1 Tahun 2016 tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan namun tetap diakui keberadaannya sebagai peraturan perundang-undangan (Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011). Namun keberadaan Perma No. 1 Tahun 2016 juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999 (terkait mediasi)

Dengan adanya kewajiban mediasi dan akibat hukum jika para pihak tidak melaksanakan mediasi berupa gugatan tidak dapat diterima bagi penggugat, dan bagi Tergugat dapat dikenakan biaya mediasi , hal ini belum memenuhi unsur mediasi yang sesungguhnya mengingat mediasi merupakan para pihak yang bersengketa dan bukan kewajiban.

Kesimpulan:

Berdasarkan uraian di atas, dapat diterik kesimpulan sebagai berikut:

1. Mediasi yang dipraktekkan di Pengadilan adalah tidak sama dengan mediasi yang dimaksud dalam UU No. 30 Tahun 1999 : mediasi di Pengadilan memiliki sifat yang memaksa, sifat memaksa ini bisa dilihat dari adanya kewajiban pihak yang sengketa untuk memilih jalur mediasi dengan tujuan perdamaian, selain itu pihak yang bersengketa diwajibkan hadir dan apabila tidak hadir tanpa alasan tertentu pengadilan dapat menerapkan sanksi berupa gugatan tidak dapat diterima bagi Penggugat, dan bagi Tergugat dapat dikenakan Biaya Mediasi.

2. Mediasi harusnya bersifat sukarela yang merupakan pilihan dari pihak yang bersengketa dan dilaksanakan tanpa tekanan dari pihak manapun termasuk pengadilan. Jika ada sanksi sebagaimana di atas maka semangat mediasi menjadi tidak terpenuhi.

3. Seharusnya dalam penerbitan Perma No. 01/2016, Mahkamah Agung menjadikan UU No. 30 Tahun 1999 sebagai pertimbangan atas penerbitan Perma No.1/2016.

Oleh : Yanuar Fajri, S.H.